Thursday, March 6, 2008
Mengenal Bumi Lebih Dekat
SEBAGAI
 masyarakat ilmiah, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) berpe-ran dalam
 pembangunan di segala bidang yang berhubungan dengan geologi di 
Indonesia. Kajian-kajian ilmiah yang dikemukakan para pakar geologi 
telah ikut memajukan perkembangan pendayagunaan aspek geologi dalam 
pembangunan nasional yang notabene untuk kesejahteraan 
masyarakat. Bagi masyarakat umum, bisa jadi kiprah yang dilakukan IAGI 
tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya, karena fungsi yang 
dijalankan IAGI adalah lebih kepada pengembangan keprofesian bidang 
geologi. 
Geologi, apa itu?
            Biasanya
 kata geologi sering diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tanah dan 
batu-batuan. Secara lebih lengkap, geologi adalah ilmu yang mempelajari 
Bumi dalam hal mulajadi, struktur, komposisi, sejarah perkembangannya 
dan proses-proses yang berlangsung di dalam dan di permukaannya, 
sehingga Bumi mencapai bentuknya yang sekarang.
            “Benda
 geologi” yang paling sering diamati adalah yang sehari-hari kita sebut 
sebagai batu atau batuan. Melalui penyelidikan batuan yang dilakukan 
dengan berbagai cara dan peralatan, maka diketahuilah berbagai gejala 
alam, seperti gempa bumi, letusan gunung api, pembentukan mineral, 
minyak dan gas bumi, dan peristiwa alam lainnya. 
            Sederhananya,
 Bumi selain menyimpan kandungan sumber daya alam, Bumi pun memiliki 
potensi kebencanaan. Begitu pula Kepulauan Indonesia yang terbentuk 
sejak jutaan tahun yang lalu adalah wilayah yang secara geologis selain 
menyimpan berbagai sumber daya mi-neral dan energi juga merupakan 
wilayah yang berpotensi sekaligus rawan bencana, antara lain gempa bumi,
 tsunami, letusan gunung api, banjir dan tanah longsor.
Banjir dan tanah longsor
            Di
 antara bentuk bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia 
adalah banjir dan tanah longsor. Peristiwa banjir dan tanah longsor, 
apakah murni sebagai fenomena alam atau karena ada campur tangan 
manusia, memang bisa menjadi perdebatan panjang. Banjir dan tanah 
longsor adalah persoalan yang selalu membuntuti kita sepanjang tahun, 
khususnya pada satu dekade terakhir ini. Di musim hujan, banyak daerah 
di Indonesia yang dilanda banjir dan tanah longsor, sebaliknya di musim 
ke-ring banyak orang berteriak kekurangan air. 
            Menurut
 Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan 
Pengungsi (Bakornas PBP), bencana alam yang berkaitan dengan kebumian 
pada periode 1998 hingga Mei 2004 telah merenggut korban jiwa sebanyak 
2232 orang. Dari jumlah korban tersebut yang paling banyak adalah akibat
 bencana banjir (1.117 orang) dengan jumlah kejadian sebanyak 379 kali. 
Korban berikutnya adalah akibat dari bencana tanah longsor (765 orang; 
288 kejadian). 
            Sedangkan
 korban akibat bencana gempa bumi mencapai 350 orang dengan 52 kali 
kejadian, serta dari bencana gunung api adalah dua orang di antara 17 
kali kejadian. Sementara itu, penanggulangan bencana di Indonesia lebih 
banyak pada upaya tanggap darurat di setiap kejadian pascabencana. 
Menyadari hal ini, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh pengetahuan 
tentang fenomena alam yang dapat menimbulkan bencana itu, sebagai upaya 
mengantisipasi bencana. 
Mengenal lebih dekat
            Menyimak
 bencana alam akibat kejadian banjir dan tanah longsor, atau bencana 
alam lainnya, kita patut berpikir, mengapa muncul bencana alam? 
Bagaimana sesungguhnya fenomena alam itu terjadi? Dengan mencoba 
mengenal Bumi lebih dekat, kita akan melihat Bumi selain mengandung 
bahan-bahan sumber daya mineral dan energi yang kita butuhkan, Bumi pun 
harus dicermati karena ia menyimpan potensi kebencanaan. Dan sudah 
selayaknya masyarakat umum termasuk anak-anak diperkenalkan dengan 
pengetahuan dasar ilmu kebumian. 
            Sebagai
 contoh, untuk lebih mengembangkan kreativitas anak-anak, kita dapat 
mengajaknya melakukan percobaan tentang peristiwa erosi tanah. Material 
yang dibutuhkan adalah sebuah kaleng biskuit yang dipotong diagonal 
menjadi dua bagian dan ke dalam rongganya diisi tanah hingga membentuk 
lereng. Salah satu lereng itu kita tanami dengan rumput. Setelah rumput 
tumbuh subur kemudian lakukan percobaan berikut ini. Hujani kedua lereng
 itu dengan air mancur dari air yang diisi pada kaleng susu yang 
dilubangi. 
            Apa
 yang terjadi? Lereng yang mana yang mudah tererosi? Lumpur dan air pada
 lereng yang mana yang mudah menggelontor ke bawah? Silakan anak-anak 
memperoleh kesempatan untuk mengamati dan menyimpulkannya. Dengan 
melakukan percobaan semacam ini, diharapkan anak-anak dapat meresapinya,
 bagaimana peristiwa erosi terjadi, terutama pada kejadian sesungguhnya 
di alam.
            Berbagai
 kegiatan yang pada intinya mengenal bumi lebih dekat, baik yang 
berhubungan dengan geologi maupun ilmu hayati, bukan tidak ada yang 
melakukannya. Lihat saja misalnya, aktivitas sekolah yang berorientasi 
ke alam (Sekolah Alam), kegiatan ecoschool yang             diselenggarakan Himpunan Mahasiswa di ITB bagi siswa SMP, klub Bicons (Bird             Conservation Society)
 Mahasiswa Biologi Unpad, pendidikan tentang Gunung Merapi oleh Pusat 
Studi Bencana UPN-Veteran Yogyakarta bagi masyarakat sekitar Gunung 
Merapi, dan yang lainnya, termasuk kegiatan sosialisasi geologi yang 
dilaksanakan IAGI. 
Di mana mengamatinya?
            Kita juga dapat mengamati Bumi di hotel, di mal, di gedung-gedung pertokoan atau di             gedung perkantoran. Lho, kok?
 Benar. kita dapat mempelajari tekstur dan mineral penyusun batuan 
granit pada permukaan dinding atau lantai gra-nit di sebuah hotel atau 
mal yang berkaitan dengan geologi. Dari tekstur dan susunan mine-ral 
itulah dapat diketahui, bagaimana batuan itu terbentuk. Kita juga bisa 
mengamati fosil foraminifera, koral             atau algae pada
 batu gam-ping yang ditempel di dinding dan lantai gedung pertokoan, 
gedung perkantoran atau rumah sendiri. Kita dapat mengetahui tentang 
lingkungan laut di mana batuan itu terbentuk dahulu kala berdasarkan 
fosil-fosil itu. 
            Untuk
 mengamati Bumi secara lebih lengkap dan sistematik, kita bisa 
mengunjungi Museum Geologi di Bandung. Di museum ini kita dapat belajar 
mengenali kehidupan prasejarah, proses gunung api, cara terbentuknya 
mineral, minyak bumi, juga benda dan peralatan yang kita pakai 
sehari-hari, yang tidak pernah dikira barang-barang itu berasal dari 
bahan dan mineral dari perut Bumi. Kita dapat pula mengajak anak-anak 
mengamati Bumi secara langsung di alam, atau seraya berekreasi ke 
tempat-tempat wisata alam seperti Gunung Merapi, Gunung Tangkuban 
Perahu, tempat wisata air panas Ciater, dan di tempat yang lain. 
            Untuk
 mengenal Bumi dapat dimulai dengan mengenal batuan, dan itu bisa 
dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Salah satu tempat menyaksikan 
bermacam batuan bermunculan isi perut Bumi ke permukaan adalah daerah 
Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Di sana anak-anak dapat menikmati 
mengumpulkan kerikil berbagai macam batuan pembentuk Bumi yang 
berserakan di Sungai Luk Ulo, atau bahkan mereka bisa menjejakkan kaki 
di atas batuan lantai samudra purba. 
Peran IAGI
            Tujuan
 dari memperkenalkan Bumi lebih dekat kepada masyarakat umum adalah 
memberi pemahaman. Bumi selain sebagai tempat memperoleh sumber daya 
alam untuk kehidupan, Bumi pun bisa memunculkan bencana. Selain itu, 
eksploitasi sumber daya alam tanpa didukung dengan kaidah-kaidah 
pengelolaan berkelanjutan dan kelestarian alam hanya akan merusak 
keseimbangan tatanan alam. 
            Pentingnya
 menjaga kelestarian Bumi dalam skala regional dapat dimulai dengan 
tindakan memahami lingkungan yang menyentuh persoalan-persoalan dari 
skala lokal, yaitu dari skala hunian manusia. Khusus kepada anak-anak, 
pengenalan ini dinilai tepat sasaran, karena pemahaman tentang alam 
sejak usia dini diprediksi akan lebih memberi ingatan tentang alam yang 
akan melekat hingga mereka besar nanti.
            IAGI
 sebagai salah satu asosiasi profesi bidang kebumian memiliki peran 
besar untuk menyebarluaskan keahliannya kepada masyarakat umum. Agar 
kiprah IAGI terasa lebih membumi, IAGI perlu meningkatkan porsi kegiatan
 sosialisasi geologi dalam dua arah. Kepada pemerintah, IAGI bisa 
mengusulkan tentang materi-materi ilmu kebumian ke dalam kurikulum 
pendidikan dasar dan menengah. Sementara bagi masyarakat umum, IAGI 
melalui anggota-anggotanya dapat turun langsung atau melalui media masa 
secara simultan dan terprogram menyosialisasikan geologi. 
            Kita
 semua tentu berharap agar tidak terjadi kesenjangan antara (meriahnya) 
aktivitas IAGI dengan (dinginnya) pemahaman masyarakat Indonesia akan 
peran IAGI dan arti penting geologi untuk kehidupan.*** 
Dr.Ir. Munasri,
Sumber
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar